Konsep hubungan sebab dan akibat sebagian besar bersifat self-taught
(pengajaran terhadap diri sendiri) yang berasal dari pembelajaran
pengalaman sebelumnya. Suatu model kausa/penyebab yang menjelaskan kausa-kausa
dalam istilah sufficient cause (kausa yang cukup) dan komponen-komponen
penyebabnya menggambarkan pentingnya prinsip-prinsip seperti multikausa
(berbagai penyebab), dependensi stregth (kekuatan) pada komponen
penyebab pada prevalensi komponen penyebab yang bersifat pelengkap, serta
hubungan antara komponen penyebab.Para filsuf sepakat bahwa dalil kausa tidak
dapat dibuktikan, dan terdapat kekurangan atau keterbatasan dalam semua
filosofi causal inference (hubungan akibat). Oleh sebab itu, peran
logika, kepercayaan, dan observasi dalam mengevaluasi dalil kausa tidak
memberikan penyelesaian. Causal inference dalam ilmu epedemiologi lebih
baik ditinjau sebagai suatu pelaksanaan dalam pengukuran suatu efek lebih baik
dibanding sebagai proses pemilihan kriteria (criterion-guided)
untuk memutuskan apakah suatu efek muncul atau tidak.Apa yang kami maksud
dengan penyebab (kausa)? Meskipun diantara mereka-mereka yang meneliti kausa
sebagai tujuan dari penelitian mereka, konsepnya adalah sebagian besar
bersifat self-taught, yang didukung dari pengalaman-pengalaman
sebelumnya. Seperti seorang anak, setiap orang mengembangkan dan menguji
penemuan tentang penjelasan kausa yang mengantarkan pada pemahaman peristiwa
dan akhirnya mengarahkan kita untuk lebih mengontrol peristiwa-peristiwa
tersebut. Karena pengertian awal kami mengenai konsep kausa didasarkan pada
observasi kami secara langsung, maka konsep hasil/akibat terbatas pada lingkup
observasi-observasi tersebut. Kami secara khusus mengamati kausa-kausa dengan
efek-efek yang akan segera muncul. Sebagai contoh, bila seseorang menekan
tombol lampu pada posisi ”on”, maka orang tersebut secara normal melihat dengan
cepat efek lampu menyala. Meski demikian, mekanisme penyebab lampu menyala
tidak hanya melibatkan menekan tombol pada posisi on. Misalkan suatu badai
merusak jaringan listrik yang telah dibangun, atau kawat rusak, atau bola lampu
terbakar – dan banyak lagi kasus, maka menekan tombol pada posisi on tidak akan
memberi efek lampu menyala. Salah satu penyebab lampu nyala adalah menekan
tombol on, akan tetapi jika satu atau lebih faktor yang lain tidak ada, maka
lampu pun tidak akan menyala.Meskipun kecenderungan untuk mengatakan menekan
tombol sebagai kasus yang unik dari menyalakan lampu, namun mekanisme kausa
yang komplit lebih rumit, dan menekan tombol hanyalah salah satu komponen dari
sekian banyak komponen lainnya. Kecenderungan mengatakan menekan tombol sebagai
kasus yang unik berasal dari peran umumnya sebagai faktor akhir yang bertindak
dalam mekanisme kausa. Kawat dapat dianggap sebagai bagian dari mekanisme
kausa, tetapi karena hanya sekali kawat dipasang, maka iapun jarang
menjadi perhatian. Tombol, bagaimanapun merupakan bagian yang paling sering dari
mekanisme yang diperlukan untuk menyalakan lampu. Efek biasanya muncul segera
setelah menekan tombol on, dan akibatnya kita terjebak dalam kerangka berpikir
dimana kita menganggap tombol sebagai kasus yang unik. Ketidakcukupan dari
asumsi ini dipertegas ketika bola lampu rusak dan perlu diganti. Konsep kausa
ini ditetapkan secara empiris lebih awal dalam kehidupan kita yang sangat
mendasar untuk memberikan dengan baik sebagai dasar teori ilmiah. Untuk
memperluas masalah di atas, kita memerlukan model konsep yang lebih umum yang
dapat dijadikan sebagai titik awal (starting point) dalam pembahasan
tentang teori-teori kausa. SUFFICIENT CAUSE DAN
KOMPONEN-KOMPONEN KAUSAKonsep dan definisi tentang kausa menimbulkan
perdebatan yang berlangsung terus-menerus diantara para filsuf. Meski
demikian, para peneliti tertarik dalam fenomena kausa yang harus
mengambil definisi yang berlaku. Kami dapat mendefinisikan suatu kausa dari
munculnya penyakit tertentu sebagai kejadian, kondisi, atau karakteristik
pencetus yang diperlukan untuk terjadinya suatu penyakit pada saat terjadinya,
yang berarti bahwa kondisi lain juga menentukan. Dengan kata lain, sebab
munculnya penyakit adalah kejadian, kondisi, atau karakteristik yang mendahului
munculnya penyakit atau tanpa penyakit dimana penyakit lain sama sekali tidak
terjadi atau tidak akan terjadi hingga beberapa waktu kemudian. Dari definisi
ini dapat diartikan bahwa tidak cukup hanya kejadian, kondisi atau
karakteristik tertentu saja untuk menimbulkan penyakit. Hal ini bukanlah suatu
definisi, melainkan suatu mekanisme kausa yang komplit, namun hanya berupa
komponen-komponen saja. ”Sufficient cause” yang diartikan sebagai
mekanisme kausa yang komplit, dapat didefinisikan sebagai suatu kondisi dan
peristiwa yang minimal pasti menimbulkan penyakit; ”minimal” menunjukkan bahwa
semua kondisi atau peristiwa yang diperlukan untuk terjadinya suatu kejadian.
Dalam etiologi penyakit, penyelesaian sufficient cause dapat dianggap
sama pada kemunculan/onset suatu penyakit. (Onset di sini berarti onset pada
fase paling awal suatu proses penyakit, lebih baik dari pada onset suatu tanda
dan gejala). Karena efek-efek biologis, umumnya dan kadang-kadang semua
komponen dari sufficient cause tidak diketahui.Misal, merokok dengan
tembakau adalah penyebab kanker paru-paru, tetapi merokok saja bukan sufficient
cause. Pertama, istilah merokok sangat tidak tepat digunakan dalam
penjelasan kausa. Harus menetapkan tipe-tipe rokok (misal, sigaret, cerutu,
atau pipa), apakah difilter atau tidak, kebiasaan dan frekuensi mengisap
rokok, serta onset/permulaan dan durasi merokok. Hal yang lebih penting, bahwa
merokok secara eksplisit, tidak akan menyebabkan kanker pada seseorang.
Tampaknya, ada beberapa orang yang sifat genetiknya atau riwayat sebelumnya,
rentan terhadap efek rokok, dan orang lainnya yang tidak merokok. Faktor
kerentanan ini merupakan komponen-komponen lain dalam berbagai mekanisme
penyebab dimana merokok menyebabkan kanker.Gambar 1 memperlihatkan diagram
skema sufficient cause pada hypothetical individual. Tiap-tiap
konstelasi dari komponen-komponen penyebab yang diperlihatkan pada gambar 1
merupakan keadaan minimal yang cukup untuk menimbulkan penyakit; yaitu,
tanpa melebih-lebihkan atau komponen penyebab tambahan lainnya. Setiap komponen
merupakan bagian yang penting dari mekanisme penyebab tertentu. Komponen
penyebab tertentu dapat memainkan peran dalam satu, dua, atau seluruh yang ada
yang digambarkan dalam mekanisme penyebab. MULTIKAUSAModel kausa
yang ditunjukkan pada gambar 1 menjelaskan beberapa prinsip penting mengenai
kausa. Mungkin yang paling penting dari prinsip ini adalah self-evident
(kebenaran) dari model; Munculnya penyakit dapat disebabkan oleh lebih dari
satu mekanisme penyebab, dan setiap mekanisme penyebab melibatkan
hubungan aksi dari banyak mekanisme penyebab. Ambil saja sebagai suatu contoh
adalah patah pinggul. Memisalkan seseorang mengalami traumatic injury pada
kepala sehingga menyebabkan gangguan keseimbangan permanen. Beberapa tahun
kemudian, gangguan keseimbangan tersebut menyebabkan seseorang terjatuh pada
saat berjalan di atas icy path. Peristiwa jatuh menyebabkan patah pinggul.
Faktor lain yang berperan sebagai penyebab patah pinggul yaitu tipe sepatu yang
digunakan seseorang, tidak adanya pegangan pada icy path, adanya angin kencang,
atau berat badan seseorang, dan banyak lagi faktor yang lain. Mekanisme
penyebab yang komplit melibatkan banyak faktor. Beberapa faktor, seperti berat
badan seseorang dan injury sebelumnya yang menyebabkan gangguan keseimbangan,
mencerminkan kejadian-kejadian terhahulu mempunyai efek yang berkepanjangan.
Beberapa komponen penyebab yaitu pengaruh genetik yang akan mempengaruhi berat
badan seseorang, cara jalan, prilaku, diperoleh dari trauma sebelumnya, dan
seterusnya. Faktor lain seperti, kekuatan angin, adalah pengaruh lingkungan.
Patut dipertimbangkan pernyataan bahwa selalu ada kaitan faktor komponen
penyebab berupa gen dan lingkungan pada setiap mekanisme penyebab. Dengan
demikian, peristiwa seperti jatuh dari icy path yang menyebabkan patah pinggul
adalah bagian dari mekanisme penyebab yang komplit yang melibatkan banyak
komponen penyebab.Pentingnya multikausa yaitu sangat mengidentifikasi baik necessary
cause (penyebab yang penting) maupun sufficient cause (penyebab yang
cukup) untuk menimbulkan penyakit. Meski demikian, suatu kausa tidak perlu
menjadi necessary cause ataupun sufficient cause karena
ketiadaannya akan mencegah timbulnya penyakit. Bila komponen penyebab baik necessary
cause ataupun sufficient cause ditiadakan, maka pada dasarnya
kebanyakan penyakit dapat dicegah. Bahwa kausa yang tidak penting (unnecessary
cause) menandakan bahwa beberapa penyakit masih dapat terjadi setelah kausa
ditiadakan, namun komponen penyebab akan menjadi necessary cause pada
beberapa kasus yang terjadi. Bahwa komponen penyebab adalah tidak cukup
menunjukkan bahwa komponen lainnya harus berinteraksi dengannya untuk
menimbulkan penyakit, dan bahwa menghilangkan beberapa penyebab akan
menghasilkan tercegahnya beberapa kasus penyakit. Dengan demikian, penyebab
tidak perlu mengindentifikasi setiap komponen penyebab untuk mencegah beberapa
kasus penyakit. Menutut hukum, perbedaan kadang-kadang terjadi diantara
komponen penyebab untuk mengidentifikasi kausa yang dapat diaggap sebagai
penyebab ”yang paling dekat/mungkin”, menunjukkan hubungan yang lebih langsung
atau bertanggung jawab untuk timbulnya suatu penyakit. KEKUATAN / STRENGTH
SUATU KAUSADalam ilmu epidemiologi, kekuatan dari efek faktor
biasanya diukur melalui perubahan frekuensi penyakit yang dihasilkan melalui
pengenalan faktor pada suatu populasi. Perubahan ini dapat diukur dalam istilah
absolut atau relatif. Pada kasus yang lain, kekuatan dari suatu efek dapat
mempunyai makna kesehatan masyarakat yang besar, tetapi mempunyai makna
biologis yang kecil. Alasannya adalah adanya mekanisme penyebab tertentu,
beberapa komponen penyebab dapat mempunyai efek yang kuat atau lemah.
Identifikasi yang sebenarnya dari komponen utama pada sejumlah mekanisme
penyebab kebanyakan berupa kausa yang bersifat biologis. Sebaliknya, kekuatan
dari efek-efek faktor tergantung pada distribusi waktu tertentu dari kausa
pelengkapnya pada populasi. Tenggang waktu yang lama menyebabkan kekuatan efek
dari faktor penyebab timbulnya suatu penyakit dapat berubah, karena prevalensi
kausa pelengkapnya pada berbagai mekanisme penyebab juga dapat berubah.
Mekanisme penyebab dimana faktor dan pelengkapnya bagaimanapun dapat bertindak
tanpa adanya perubahan. INTERAKSI ANTARA KAUSAModel pastel kausa
menggambarkan bahwa beberapa komponen kausa bertindak secara bersama dalam
menimbulkan suatu efek. ”tindakan yang sesuai” yang tidak begitu penting
menunjukkan bahwa faktor harus bertindak pada saat yang sama. Pemisalan contoh
di atas yaitu pada orang yang mengalami trauma pada kepala yang menyebabkan
gangguan keseimbangan, dimana, beberapa tahun kemudian, jatuh pada icy path.
Trauma kepala sebelumnya menjadi penyebab patah pinggul; demikian juga
kondisi-kondisi cuaca pada hari terjadinya fraktur. Bila kedua faktor ini
menjadi penyebab fraktur pinggul, kemudian kedua faktor tersebut dihubungkan
satu sama lain untuk menyebabkan fraktur, meskipun kenyatannya bahwa kedua
faktor tersebut terjadi pada saat yang berbeda. Kita dapat mengatakan bahwa
sebagian atau semua faktor pada mekanisme kausa penyakit yang sama berinteraksi
satu sama lain untuk menimbulkan penyakit. Dengan demikian, trauma kepala
dihubungkan dengan kondisi cuaca, demikian pula komponen kausa lainnya seperti
tipe alas kaki yang digunakan, tidak adanya pegangan, dan beberapa kondisi lainnya
yang diperlukan pada mekanisme penyebab jatuh dan akhirnya menyebabkan patah
pinggul. Kita dapat dapat melihat masing-masing pastel kausa sebagai
seperangkat interaksi komponen-komponen kausa. Model ini memperlihatkan dasar
biologis untuk suatu konsep interaksi yang berbeda dari tinjauan interaksi
statistik secara umum. PENGGABUNGAN BEBERAPA ATRIBUT/PENYEBABMisalkan
data rata-rata terjadinya kanker kepala dan leher berdasarkan pada apakah
seseorang pernah merokok sigaret, minum alkohol, atau keduanya (tabel 1).
Misalkan bahwa perbedaan rata-rata semua mencerminkan efek-efek kausa. Diantara
perokok dan peminum alkohol, bagian yang mana dari kasus yang dapat dihubungkan
dengan efek merokok? Kami mengetahui bahwa angka kejadian kanker kepala dan
leher adalah 12 kasus per 100.000 orang per tahun. Jika beberapa orang dari
penderita kanker ini bukan perokok, maka dapat diperkirakan bahwa angka
kejadian kanker kepala dan leher menjadi 3 kasus per 100.000 orang per tahun.
Jika perbedaan ini mencerminkan peranan kausa merokok, maka kita dapat menarik
kesimpulan bahwa 9 dari 12 kasus, atau 75% dihubungkan dengan merokok diantara
kelompok yang merokok dan minum alkohol. Jika kita kembali pada pertanyaan dan
bertanya bagian yang mana dari penyakit yang dihubungkan dengan minum alkohol,
maka kita akan dapat menyimpulkan 8 dari 12 kasus, atau 67% berkaitan dengan
minum alkohol.Bagaimana kita dapat menghubungkan 75% kasus dengan merokok dan
67% minum alkohol diantara mereka yang terpapar keduanya? kami dapat mengatakan
demikian karena beberapa kasus dihitung lebih dari satu kali. Merokok dan minum
alkohol berhubungan dengan beberapa kasus kanker kepala dan leher, dan kanker
kepala dan leher dapat sebabkan oleh keduanya yaitu merokok dan minum alkohol.
Salah satu hal yang penting dari interaksi ini yaitu kita seharusnya tidak
mengharapkan bahwa proporsi penyakit dapat dihubungkan dengan berbagai komponen
kausa yang akan dijumlahkan hingga 100%.Sebuah makalah yang membahas secara
mendalam (meski tidak dipublikasikan) pada tahun 1970-an, ditulis oleh para
ilmuwan di National Institutes of Health, mengemukakan bahwa sebanyak 40%
dari kanker dihubungkan dengan eksposur pekerjaan. Banyak ilmuwan menganggap
bahwa pernyataan ini adalah penaksiran yang berlebih, dan membantah argumen
tersebut untuk mematahkan klaim ini. Salah satu argumen yang digunakan menolak
adalah sebagai berikut : x persen dari kanker disebabkan oleh merokok, y persen
oleh diet, z persen oleh alkohol, dan seterusnya; bila kesemua persentase
tersebut dijumlahkan, hanya menghasilkan persentase yang kecil, kurang dari 40%
yang dihubungkan dengan pekerjaan. Tetapi penolakan ini salah, karena
didasarkan pada pandangan yang naif bahwa setiap kasus penyakit mempunyai satu
penyebab/kausa, dan bahwa dua kausa keduanya tidak dapat berkontribusi terhadap
kasus kanker yang sama. Dalam kenyataanya, karena diet, merokok, asbes dan
berbagai eksposur pekerjaan, bersama dengan faktor lain, berinteraksi satu sama
lain, serta faktor genetik menyebabkan kanker, tiap kasus dari kanker dapat
dihubungkan secara berulang pada banyak komponen kasus secara terpisah. Banyak
penyakit dihubungkan dengan berbagai komponen kausa hingga tidak memiliki
batas.Satu kausa atau kategori kausa yang terdapat pada setiap sufficient
cause dari penyakit akan mempunyai bagian dari 100%. Banyak publikasi yang
mengeluarkan pernyataan pada tahun 1960 bahwa sebanyak 90% kanker disebabkan
oleh faktor lingkungan. Karena ”lingkungan” dapat dianggap mencakup semua
kategori yaitu adanya kasus nongenetik, yang harus ada pada beberapa perluasan
pada tiap sufficient cause, yang jelas pada alasan sebelumnya bahwa 100%
dari beberapa penyakit disebabkan oleh faktor lingkungan. Dengan demikian,
estimasi Higgison sekitar 90% adalah estimasi yang rendah.Demikian pula,
pernyataan yang menyatakan bahwa 100% dari beberapa penyakit adalah
diturunkan/diwariskan. MacMahon mengambil contoh yellow shank, suatu ciri yang
terjadi pada strain/keturunan unggas tertentu yang diberi makan jagung kuning.
Baik faktor gen maupun diet jagung kuning diperlukan untuk menghasilkan yellow
shank. Seorang petani dengan beberapa strain unggas, yang memberi makan
unggasnya dengan jagung kuning saja, akan mengatakan bahwa yellow shank
diturunkan/diwariskan, karena hanya satu strain yang menjadi yellow shank,
meskipun semua strain memperoleh diet yang sama. Petani yang lain, yang hanya
memiliki strain yang cenderung menjadi yellow shank, tetapi memberi makan
jagung kuning dan jagung putih, akan mengatakan bahwa yellow shank ditentukan
oleh lingkungan karena tergantung pada diet. Dalam kenyataannya, yellow shank
ditentukan oleh keduanya yaitu gen dan lingkungan; tidak ada cara yang baik
untuk menetapkan kausa apakah gen atau lingkungan. Demikian pula, tiap kasus
dari tiap penyakit mempunyai beberapa komponen kausa yang berasal dari
lingkungan dan yang berasal dari gen, dan karenanya setiap kasus dapat
disebabkan oleh gen maupun lingkungan. Tidak ada paradoks sepanjang ia dipahami
bahwa suatu penyakit dapat disebabkan oleh gen dan lingkungan secara
bersamaan.Banyak peneliti telah berusaha mengembangkan indeks-indeks yang dapat
diwariskan, yang diharapkan untuk menentukan bagian penyakit yang dapat
diturunkan. Sayangnya, indeks tersebut hanya menilai peran relatif lingkungan
dan gen kausa penyakit pada kejadian tertentu. Sebagai contoh, beberapa gen
kausa dapat menjadi komponen yang penting dari setiap mekanisme penyebab,
bagaimanapun, pengaruhnya tidak dimasukkan dalam indeks heritabilitas (yang
diwariskan), meskipun kenyataannya bahwa kondisi selalu 100% tergantung pada
adanya gen tertentu.Jika semua faktor gen yang menentukan penyakit dihitung,
apakah ada atau tidak faktor gen tersebut bervariasi dalam populasi, kemudian
100% penyakit dapat dikatakan diturunkan. Secara analog, 100% dari penyakit
disebabkan oleh lingkungan, meskipun penyakit tersebut sering kami mengatakan
semata-mata disebabkan oleh gen. Phenylketonuria, sebagai contoh, dianggap
semata-mata disebabkan oleh gen. Meski demikian, retardasi mental
kemungkinan dapat dicegah dengan intervensi diet yang teratur.Perawatan
phenylketonuria menggambarkan hubungan gen dan lingkungan untuk menyebabkan
penyakit yang secara umum dianggap semata-mata disebabkan oleh gen. Bagaimana
halnya dengan suatu kejadian kelihatan semata-mata disebabkan lingkungan dapat
menyebabkan kematian misalnya meninggal akibat kecelakaan mobil? Adalah mudah
untuk menjelaskan dari jalur gen yang menyebabkan masalah psikis seperti
alkoholisme, yang pada gilirannya menyebabkan ia mabuk dalam menyetir dan
akhirnya berakibat fatal. Pemisalan lain contoh lingkungan yang lebih ekstrim,
mati karena terkena petir. Secara parsial kondisi psikis yang diwariskan dapat
mempengaruhi apakah seseorang akan berlindung selama terjadi kilat; ciri gen
seperti bakat atlit dapat mempengaruhi kemungkinan berada di luar ketika
terjadi kilat; dan mempunyai pekerjaan atau hiburan di luar yang membuatnya
lebih sering berada diantara laki-laki (atau perempuan), dan dalam pengertian
genetik seperti itu, juga akan mempengaruhi kemungkinan seseorang mati karena
kilat. Argumen tersebut mungkin tampak melebih-lebihan pada contoh ini,
tetapi intinya bahwa setiap kasus penyakit mempunyai kausa baik gen maupun
lingkungan dipertahankan dan mempunyai implikasi yang penting dalam penelitian. MEMBUAT
INFERENSI KAUSAInferensi kausa (hubungan akibat) dapat dipandang sebagai
suatu kasus tertentu dari proses alasan ilmiah yang lebih umum, dimana
menimbulkan perdebatan yang substansial diantara para ilmuwan dan para filsuf. Imposibilitas
suatu BuktiPerdebatan yang hebat merupakan ciri khas dari filosofi ilmu
pengetahuan modern, banyak dijumpai dalam ilmu epidemiologi dari pada di bidang
lainnya. Barangkali pendapat umum yang paling penting yang muncul dari
perdebatan para filsuf berawal dari observasi David Hume, ahli ilmu empiris
abad ke-18 mengatakan bahwa bukti adalah hal yang imposibel/tidak mungkin dalam
ilmu empiris. Fakta sederhana ini penting khususnya bagi para epidemiologis,
yang sering menghadapi kritikan bahwa bukti adalah imposibel dalam ilmu
epidemiologi, dengan implikasi bahwa bukti mungkin ada dalam disiplin
ilmu pengetahuan lainnya. Kritik seperti itu mungkin berawal dari suatu
tinjauan bahwa eksperimen merupakan sumber yang pasti dari pengetahuan ilmiah.
Pandangan seperti itu keliru pada setidaknya dua alasan. Pertama, non-experimental
nature dari ilmu pengetahuan tidak memungkinkan penemuan ilmu pengetahuan
yang mengagungkan; banyak sekali contoh termasuk lapisan tektonik, evolusi
spesies, planet-planet yang mengelilingi bintang, dan efek merokok sigaret bagi
kesehatan manusia. Bahkan jika memungkinkan, maka eksperimen (termasuk
randomized trial) tidak memberikan bukti apapun yang mendekati, dan dalam
kenyataanya menjadi kontroversi, kontradiksi, dan ireprodusibel. Kegagalan cold-fusion
memperlihatkan bahwa baik ilmu fisika ataupun pengetahuan eksperimen terlepas
dari masalah seperti itu.Beberapa eksperimen para ilmuwan menyatakan bahwa
hubungan epidemiologi hanya bersifat sugestif, dan percaya bahwa studi
laboratorium secara detail mengenai mekanisme pada individu tertentu dapat
memperlihatkan hubungan kausa – efek dengan pasti. Pandangan ini mengabaikan
kenyataan bahwa semua hubungan bersifat sugestif yang dibahas secara tepat oleh
Hume: meskipun dilakukan diseksi pada individu secara teliti dan detail tidak
memberikan lebih dari sekedar hubungan/asosiasi, meskipun hanya pada tingkat
yang lebih ringan. Studi laboratorium sering melibatkan derajat kontrol
pengamat yang tidak dapat dilakukan dengan pendekatan epidemiologi; hanya pada
kontrol ini, tidak pada level obeservasi, yang dapat memperkuat
inferensi/penarikan kesimpulan dari studi laboratorium. Selain itu, kontrol
seperti itu tidak memberikan jaminan menolak kesalahan. Dari semua hasil
pengkajian para ilmuwan, dalam ilmu epidemiologi atau disiplin lain, paling
banyak hanya pada perumusan yang bersifat sementara mengenai deskripsi alam,
bahkan ketika kerja itu sendiri berjalan tanpa kekeliruan. Uji
Perbandingan Teori EpidemiologiPengetahuan biologi tentang hipotesis
epidemiologi sering tidak cukup, sehingga hipotesis itu sendiri kadang-kadang
lebih sedikit dibanding pernyatan yang tidak jelas mengenai hubungan kausa
antara eksposur dan penyakit, seperti ”merokok menyebabkan penyakit
kardiovaskuler”. Hipotesis yang tidak jelas ini hanya akan menimbulkan
kesulitan dalam pengujian. Untuk mengatasi ketidakjelasan ini, para
epidemiologis biasanya fokus pada pengujian penolakan/penyangkalan dari
hipotesis kausa, yaitu, hipotesis null yang menyatakan bahwa eksposur
tidak mempunyai hubungan kausa terhadap penyakit. Kemudian, beberapa hubungan
yang diobservasi dapat menolak hipotesis, tunduk pada asumsi (hipotesis
pembantu) bahwa bias akan hilang.Jika mekanisme kausa dinyatakan cukup secara
spesifik, maka observasi epidemiologi pada beberapa keadaan dapat memberikan
pengujian yang rumit mengenai hipotesis kausa non-null. Di sisi lain, banyak
penelitian epodemiologi tidak didesain untuk menguji hipotesis kausa. Sebagai
contoh, data epidemiologi mengenai penemuan bahwa wanita yang menjalani terapi
estrogen dikatakan mempunyai risiko tinggi terkena kanker endometrium yang
telah diuji oleh Horwitz dan Feinstein, yang membuat teori perbandingan untuk
menjelaskan hubungan tersebut: mereka menyatakan bahwa wanita yang menggunakan
estrogen mengalami gejala seperti perdarahan yang menyebabkan mereka mendatangi
dokter. Hasil diagnostik adanya kanker endometrium pada stadium awal dari
wanita tersebut, kemudian dibandingkan dengan wanita yang tidak menggunakan
estrogen. Telah banyak observasi epidemiologi yang telah dilakukan dan
digunakan untuk mengevaluasi hipotesis banding ini. Teori kausa memprediksikan
bahwa risiko kanker endometrium akan cenderung meningkat dengan meningkatnya
penggunaan estrogen (dosis, frekuensi, dan durasi) demikian halnya dengan
eksposur karsinogenik lainnya. Teori pendeteksian bias/kesalahan, pada sisi
lain, menyatakan bahwa wanita yang telah menggunakan estrogen hanya jangka
waktu singkat akan mepunyai risiko yang paling tinggi, karena gejala yang
berhubungan dengan penggunaan estrogen menyebabkan mereka melakukan konsultasi
medis yang cenderung terlihat segera setelah permulaan penggunaan. Karena
hubungan dari penggunaan estrogen dan kanker endometrium adalah sama pada kedua
pengguna estrogen baik yang lama maupun singkat, deteksi teori bias ditolak,
tetapi sebagian kecil dari kasus kanker endometrium terjadi setelah penggunaan
estrogen.Contoh kanker endometrium memberikan poin penting dalam pemahaman
proses hubungan kausa dalam studi epidemiologi: kebanyakan dari hipotesis telah
dievaluasi dalam interpretasi studi epidemiologi adalah berupa hipotesis
nonkausa, dalam artian bahwa tidak ada hubungan kausa antara studi eksposur dan
penyakit. Sebagai contoh, hipotesis yang banyak menjelaskan bagaimana tipe-tipe
tertentu dari bias dapat memperlihatkan hubungan antara eksposur dan penyakit
yang biasanya menjadi alternatif pada hipotesis studi utama bahwa para
epidemilogis ingin memberikan gambaran inferensi. Kebanyakan dari interpretasi
studi epidemiologi untuk menguji penjelasan nonkausa seperti itu. NILAI
KERAGU-RAGUAN (DUBIOUS VALUE) DARI KRITERIA KAUSASecara praktis, bagimana
para epidemiologis memisahkan penjelasan kausa dari penjelasan nonkausa?
Meskipun filosofi kritik tentang penarikan kesimpulan secara induktif, namun
secara induktif mengorientasikan kriteria kausa yang telah digunakan secara
umum untuk membuat infernsi induktif. Jika seperangkat kriteria necessery
causa dan sufficient causa dapat digunakan untuk membedakan hubungan
kausa dari nonkausa dalam studi epidemiologi, maka pekerjaan para ilmuan
menjadi mudah. Dengan kriteria seperti itu, semua konsep mengenai logika atau
tidak adanya teori dalam inferensi kausa dapat diabaikan: hanya diperlukan
untuk mengkonsultasikan daftar kriteria untuk melihat jika hubungan itu
bersifat kausa. Kami mengetahui dari filofosi bahwa tidak ada kriteria yang
cukup. Meski demikian, daftar kriteria kausa telah populer, ini mungkin
karena kriteria tersebut memberikan peta yang luas meski pada daerah yang rumit
sekalipun. Kriteria HillKriteria yang umumnya digunakan adalah yang
diusulkan oleh Hill. Kriteria ini merupakan perluasan dari kriteria yang
ditawarkan sebelumnya dalam ”landmark surgeon general’s report on smoking and
health”, yang pada gilirannya didahului oleh aturan induksi oleh John Stuart
Mill dan aturan yang diberikan oleh Hume.Hill menyatakan bahwa aspek-aspek
berikut tentang hubungan yang digunakan dalam usaha untuk membedakan hubungan
kausa dari nonkausa : (1) strength/kekuatan, (2) konsistensi, (3) spesifitas,
(4) temporalitas, (5) biological gradient, (6) plausibilitas (dapat diterima
akal), (7) koherensi/keselarasan, (8) bukti eksperimental dan, (9) analogi.
Kriteria tersebut diambil dari induk aslinya, namun membutuhkan pembahasan yang
lebih spesifik mengenai kegunaannya masing-masing.1.
Strength. Argumen Hill pada dasarnya bahwa
hubungan/asosiasi yang kuat lebih bersifat kausa dibanding karena asosiasi yang
lemah, jika asosiasi ini dapat dijelaskan melalui beberapa faktor lainnya, maka
efek dari faktor itu harus lebih kuat dibanding asosiasi yang diamati dan
sehingga akan menjadi terbukti. Asosiasi yang lemah, pada sisi yang lain, lebih
dapat dijelakan melalui bias yang tidak terdeteksi. Untuk memperluasnya, ini
merupakan argumen yang baik tetapi, menurut Hill sendiri, fakta bahwa suatu
asosiasi yang lemah tidak mengesampingkan adanya hubungan kausa/sebab-akibat.
Contoh yang umumnya digunakan adalah hubungan antara merokok sigaret dan
penyakit kardiovaskuler : suatu penjelasan yang membuat hubungan menjadi lemah
adalah bahwa penyakit kardiovaskuler adalah umum, sehingga beberapa rasio
pengukuran dari efek yang secara komparatif kecil dibandingkan dengan rasio
pengukuran untuk penyakit yang kurang umum. Meski demikian, merokok sigaret
tidak diragukan secara serius sebagai penyebab penyakit kardiovaskulet. Contoh
lainnya adalah perokok pasif dan kanker paru-paru, suatu asosiasi yang lemah
bahwa sedikit pertimbangan menjadi nonkausa. Contoh dari asosiasi yang kuat
tetapi nonkausa juga tidak sulit ditemukan; beberapa studi dengan perancu kuat
mengilustrasikan fenomena tersebut. Sebagai contoh, hubungan kuat tetapi
nonkausal antara Down syndrome dan urutan kelahiran, yang dirancukan
oleh hubungan antara Down syndrome dan usia ibu. Tentu saja, bila
ditemukan faktor tersebut, maka hubungan ini diminimalisir dengan penyesuaian
faktor. Contoh-contoh ini mengingatkan kita bahwa hubungan yang kuat baik itu
hubungan sebab-akibat necessary causa maupun sufficient causa,
ataupun hubungan lemah dari necessary causa maupun sufficient causa
untuk meniadakan hubungan sebab-akibat. Selain itu, baik risiko relatif
maupun pengukuran lain dari suatu asosiasi adalah suatu gambaran yang
konsisten/tetap secara biologis dari suatu asosiasi; seperti yang dijelaskan di
atas, asosiasi pengukuran seperti itu ditandai dari populasi yang ada yang
tergantung pada prevalensi relatif dari kausa lainnya dalam populasi itu.
Hubungan yang kuat hanya ada untuk mengesampingkan hipotesa bahwa hubungan yang
secara keseluruhan berkaitan dengan faktor perancu yang lemah yang tidak diukur
atau sumber lainnya dari bias yang tinggi.2. Konsistensi. Konsistensi merujuk pada observasi
yang berulang dari suatu asosiasi pada populasi yang berbeda pada keadaan
yang berbeda. Tidak adanya konsistensi, bagaimanapun, tidak mengabaikan
hubungan kausa/sebab akibat, karena beberapa efek diasilkan oleh kausa-nya
masing-masing hanya pada kenyataan yang biasanya. Lebih tepatnya, efek dari
agen kausa tidak dapat terjadi kecuali ada komponen kausa pelengkap, atau siap
digunakan, untuk menyempurnakan sufficient cause. Kondisi-kondisi
seperti ini tidak selalu dijumpai. Dengan demikian, transfusi dapat
menyebabkan infeksi HIV tetapi infeksi itu tidak selal terjadi: virus juga
harus ada. Penggunan tampon dapat menyebabkan shock toxic syndrom,
tetapi jarang, namun pada kondisi yang tidak diketahui, keadaan ini dapat
terjadi. Konsistensi hanya muncul setelah semua yang berkaitan dengan mekanisme
kausa dipahami, yang dikatakan sangat jarang. Selanjutnya, meskipun studi
mengenai fenomena yang persis sama dapat diharapkan untuk menghasilkan hasil
sederhana yang berbeda karena metode dan random error yang berbeda. Konsistensi
hanya mengesampingkan hipotesa bahwa asosiasi dihubungkan pada beberapa faktor
yang berbeda.
Salah satu kesalahan dalam implementasi kriteria konsistensi yang begitu
umum yaitu konsistensi mendapatkan sebutan khusus. Kadang diklaim bahwa suatu
literatur atau seperangkat hasil inkonsisten yang sederhana karena
beberapa hasil adalah ”signifikasi secara statistik” dan kadang-kadang tidak.
Evaluasi semacam ini adalah kesalahan yang komplit meskipun bila seseorang
menerima penggunanan metode pengujian signifikansi : hasil (estimasi efek) dari
studi dapat diidentifikasi meski bila banyak yang signifikan dan banyak pula
yang tidak, maka perbedaan dalam signifikansi muncul dengan sendirinya karena
perbedaan pada standar error atau ukuran studi. Selain itu, kesalahan ini tidak
dieliminasi dengan estimasi yang ”distandarisasi”.3.
Spesifitas. Kriteria yang memerlukan
spesifitas yaitu suatu kausa yang menimbulkan satu efek, bukan banyak efek.
Pendapat ini sering digunakan untuk menyangkal interpretasi kausa dari eksposur
untuk menghubungkan banyaknya efek yang muncul – sebagai contoh, dengan mencari
alasan untuk membebaskan merokok sebagai penyebab kanker paru-paru. Sayang
sekali, kriteria ini tidak valid sebagai aturan umum. Kausa-kausa dari suatu
efek yang muncul tidak dapat diharapkan untuk meniadakan semua efek yang lain.
Dalam kenyataannya, pengalaman sehari-hari mengajarkan kepada kita secara
berulang-ulang yaitu satu peristiwa atau kondisi yang mempunyai banyak efek.
Merokok adalah contoh yang paling baik; merokok menyebabkan banyak efek bagi
perokok, pada sebagian karena merokok menyebabkan eksposur yang luas. Adanya
satu efek dari suatu eksposur tidak dapat memperkecil kemungkinan adanya efek
yang lain.
Di sisi lain, Weiss dengan argumen yang meyakinkan bahwa spesifitas dapat
digunakan untuk membedakan beberapa hipotesis kausa dari hipotesis nonkausa,
sementara hipotesis kausa memprediksi hubungan dengan satu hasil tetapi
tidak ada hubungan dengan hasil yang lainnya. Dengan demikian, spesifitas
mempunyai peran bila spesifitas disimpulkan secara logis dari pertanyaan
hipotesis kausa.4.
Temporalitas. Temporalitas mengacu pada perlunya
suatu kausa untuk mendahului munculnya suatu efek. Kriteria ini tidak dapat
dibantah, sepanjang observasi kausa apapun yang diklaim harus melibatkan kausa
putative C yang mendahului efek putatif D. Bagaimanapun hal itu tidak terjadi,
seiring berjalannya waktu agar suatu bukti menolak hipotesis bahwa C dapat
menyebabkan D. Melainkan, observasi dimana C diikuti D hanya menunjukkan bahwa
C tidak dapat disebabkan oleh D pada contoh ini; Tidak ada bukti untuk menolak
hipotesis bahwa C dapat menyebabkan D pada contoh ini dimana C mendahului D.5.
Biological
gradient. Biological
gradient mengacu pada adanya kurva yang secara tidak langsung menghubungkan
dosis–respon. Kita sering mengharapkan seperti adanya hubungan nonoton. Sebagai
contoh, banyak merokok berarti lebih terpapar karsinogen dan lebih merusak
jaringan, sehingga lebih berpeluang karsinogenesis. Hubungan sebab-akibat
bagaimanapun, memperlihatkan satu loncatan (treshold) yang lebih baik dibanding
monoton; contohnya adalah hubungan antara DES dan adenocarsinoma vagina.
Penjelasan yang mungkin adalah dosis DES yang diberikan cukup besar untuk
menghasilkan efek maksimum dari DES. Dari hipotesis ini, bagi mereka yang
terpapar DES, perkembangan penyakit tergantung seluruhnya pada komponen kausa
lainnya. Konsumsi alkohol dan mortalitas adalah contoh yang lain. Angka
kematian lebih tinggi diantara bukan peminum dan diantara peminum sedang,
tetapi lebih tinggi lagi pada peminum berat. Ada perdebatan yang patut
dipetimbangkan tentang bagian yang mana dari kurva dosis-respon yang
berbentuk-J (J-shave) yang secara kausa berhubungan dengan konsumsi alkohol dan
bagian yang mana dari nonkausa yang menghalangi dari faktor perancu atau bias
lainnya. Beberapa studi yang ada hanya memperlihatkan hubungan yang meningkat
antara konsumsi alkohol dan mortalitas, mungkin karena kategori konsumsi
alkohol terlalu luas untuk membedakan tingkat mortalitas diantara peminum
sedang dan bukan peminum.
Asosiasi yang memperlihatkan kecenderungan monoton pada frekuensi penyakit
dengan meningkatnya level eksposur adalah bukan necessary causa; faktor
perancu dapt menimbulkan hubungan monoton antara faktor risiko nonkausa dan
penyakit jika faktor perancu itu sendiri memperlihatkan biological gradient
dalam hubungannya dengan penyakit. Hubungan nonkausa antara urutan kelahiran
dan Down syndrom yang disebutkan pada bagian 1 di atas memperlihatkan biological
gradient yang hanya mencerminkan hubungan progresif antara usia ibu dan Down
syndrome.
Contoh ini menunjukkan bahwa adanya hubungan monoton baik necessary causa maupun
sufficient causa. Hubungan yang tidak monoton hanya menolak hipotesis kausa
yang cukup spesifik untuk memprediksi kurva dosis-respon yang monoton.6.
Plausibilitas. Plausibilitas (diterima akal)
adalah hipotesis yang masuk akal secara biologis, suatu perhatian yang penting
namun jauh dari objektifitas atau absolut. Sartwell, menekankan poin ini,
mengutip pernyataan Cheever 1861, dalam the etiology of typhus before
its mode of transmission (via body lice) : Boleh jadi tidak lagi
menggelikan bagi orang asing yang bepergian malam hari dalam geledek kapal dari
serangan tifus, dimana dia mendekam, bersama tikus dengan badan sakit karena
terinfeksi. Suatu kausa yang adekuat, seharusnya membenarkan kejadian yang
tidak disengaja dari pengalaman sederhana. Apa yang dijelaskan oleh Cheever
sebagai hal yang tidak masuk akal ternyata menjadi penjelasan yang benar,
karena memang benar tikus yang menyebabkan infeksi tifus. Problema seperti itu
dapat diterima akal; adalah terlalu sering tidak didasarkan pada logika atau
data, tetapi hanya kepercayaan sebelumnya. Hal ini tidak untuk mengatakan bahwa
pengetahuan biologi harus dibuang ketika mengevaluasi hipotesis baru, namun hanya
sekedar menunjukkan kesulitan dalam aplikasi ilmu pengetahuan. Pendekatan
Bayesian pada inferensi usaha untuk mengatasi problema ini melalui perlunya
kuantitas, pada skala probabilitas (0-1), tentunya bahwa salah satu harus
diyakini sebelumnya, sebagaimana dalam hipotesis baru. Kuantifikasi ini
memainkan peran dogma atau membuka ingatan tentang analisis pada pertunjukan
publik, dengan angka tertentu yang mendekati 1 atau 0 memperlihatkan komitmen
yang kuat dari analisis atau menolak suatu hipotesis. Pendekatan Bayesian juga
memberikan suatu cara menguji kuantifitas yang diyakini tersebut untuk menolak
hipotesis baru. Meski demikian, pendekatan Bayesian tidak dapat merubah
plausibilitas menjadi suatu kriteria kausa objektif.7.
Koherens Diambil dari the surgeon
general’s report on smoking and health, istilah koherens berarti bahwa
interpretasi kausa-efek pada suatu asosiasi yang tidak bertentangan
dengan apa yang diketahui dari sejarah alami dan biologi suatu penyakit.
Contoh-contoh Hill yang memberikan koherensi, seperti efek histopatologi
merokok terhadap epitelium bronkial (dalam acuan hubungan antara merokok dan
kanker paru-paru) atau perbedaan insiden kanker paru-paru menurut jenis
kelamin, dapat dijadikan contoh yang baik dari plausibilitas seperti koherens;
perbedaan tampak seperti menjadi satu. Hill menekankan bahwa tidak adanya
informasi yang bertalian, seperti perbedaan, tampaknya, dari adanya informasi
yang bertentangan, tidak harus dijadikan sebagai bukti menolak suatu asosiasi yang
dianggap kausa. Pada sisi yang lain, adanya informasi yang bertentangan mungkin
memang benar menolak suatu hipotesis, tetapi satu hal yang harus diingat
bahwa informasi yang bertentangan mungkin keliru atau salah interpretasi.8.
Experimental
evidence.
Belum jelas apa yang dimaksudkan Hill dengan experimental evidence.
Mungkin mengacu pada bukti dari eksperimen laboratorium pada binatang,
atau bukti dari percoban manusia, bagaimanpun, jarang tersedia bagi
kebanyakan pertanyaan-pertanyan penelitian epidemiologi, dan bukti binatang
coba berhubungan dengan spesies yang berbeda dan biasanya dengan level
eksposur yang jauh berbeda dari manuasia. Dari contoh Hill, tampak bahwa apa
yang dia maksudkan dengan experimental evidence adalah hasil pemindahan dari
eksposur yang berbahaya dalam suatu program intervensi atau pencegahan,
lebih baik dari pada hasil eksperimen laboratorium. Tidak adanya ketersediaan
bukti seperti itu akan menyulitkan dalam menjadikan kriteria ini sebagai
inferensi. Secara logis, experimental evidence bukanlah suatu kriteria namun
suatu tes dari hipotesis kausa, suatu tes yang sederhana yang tidak ada pada
kenyataan yang sebenarnya. Meskipun uji eksperimental dapat menjadi lebih
kuat dibanding uji lainnya, namun sering tidak sejalan dengan pikiran, karena
sulit diintrepretasikan. Sebagai contoh, kita dapat mencoba melakukan uji
hipotesis bahwa malaria disebabkan oleh gas rawa melalui pengairan rawa pada
suatu daerah dan tidak pada daerah yang lain untuk melihat apakah malaria diantara
penduduk dipengaruhi oleh pengairan. Seperti yang diprediksikan melalui
hipotesis, maka angka malaria akan turun pada daerah dimana rawa diberi
pengairan. Seperti penekanan Popper, bagaimanapun, selalu banyak penjelasan
alternatif untuk haasil dari setiap eksperimen. Dalam contoh ini, satu
alternatif, dimana peristiwa menjadi benar, yaitu nyamuk merupakan
penyebab transmisi malaria.9. Analog. Pengertian yang lebih luas
sekalipun dapat diturunkan dari analogi yang berdasar pada daya imajinasi para
ilmuwan yang dapat menemukan analogi dimana saja. Sebaiknya, analogi memberikan
suatu sumber hipotesis-hipotesis yang lebih seksama tentang asosiasi-asosiasi
dalam studi; tidak adanya analogi seperti itu hanya mencerminkan tidak adanya
imajinasi atau pengalaman, bukan kepalsuan dari hipotesis. Apakah Ada
Manfaat dari Kriteria Kausa? Secara jelas, bukti standar epidemiologi
yang ditawarkan oleh Hill disandarkan pada reservasi/penerimaan dan penolakan.
Hill sendiri menentang kegunaan dari ”sudut pandang” ini (beliau tidak memakai
kata kriteria dalam makalahnya). Di sisi yang lain, Hill bertanya, ”pada
keadaan yang bagaimana kita dapat melewati hubungan observasi ini pada suatu
keputusan memilih kausa?”. Meski demikian disamping menyatakan putusan, Hill
tidak menyetujui bahwa ”hard-and-fast rules of evidence” diwujudkan dengan
penentuan kausa : Kesimpulan ini merujuk pada pandangan Hume, Popper dan yang
lainnya bahwa inferensi kausa tidak dapat mencapai deduksi logika secara pasti.
Meskipun beberapa ilmuwan melanjutkan penyebaran kriteria kausa sebagai
penolong dalam penarikan kesimpulan, namun argumen lainnya yaitu benar-benar
merugikan dalam menghalangi proses inferensi dengan mempertimbangkan daftar
kriteria. Kelompok pertengahan, mencari pendekatan pembuktian kesalahan untuk
merubah kriteria ke dalam uji deduktif dari hipotesis kausa. Pendekatan seperti
itu mencegah godaan untuk menggunakan kriteria kausa sederhana untuk mendukung
teori, dan sebagai gantinya para epidemiologis fokus pada evaluasi teori
perbandingan kausa menggunakan observasi kritis. KRITERIA MENENTUKAN
APAKAH BUKTI ILMIAH VALID/SAHSama halnya dengan kriteria kausal tidak dapat
digunakan untuk menentukan validitas dari suatu inferensi/penarikan kesimpulan,
tidak ada kriteria yang dapat digunakan untuk menentukan validitas data atau
bukti. Ada metode yang valid yang dapat digunakan, tetapi penaksiran ini tidak
akan sama seperti kriteria yang baku.Beberapa kesulitan dapat dipahami melalui
pembahasan pandangan bahwa bukti ilmiah biasanya dapat ditinjau sebagai suatu
bentuk ukuran. Jika suatu studi epidemiologi digunakan untuk menilai hubungan
antara eksposur merokok tembakau dengan risiko kanker paru-paru, maka hasilnya
dapat dan harus dijadikan sebagai ukuran dari efek kausa, seperti rasio dari
risiko kanker paru-paru diantara perokok dan risiko diantara bukan perokok.
Seperti pengukuran pada umumnya, pengukuran dari efek kausa tunduk pada
kesalahan pengukuran (measurement error). Dalam studi ilmiah, kesalahan
pengukuran meliputi lebih dari kesalahan yang kita perkirakan saat kita
berusaha mengukur panjang dari potongan suatu karpet. Sebagai tambahan pada
statistical error, kesalahan pengukuran menggolongkan masalah yang berhubungan
dengan desain studi, termasuk pemilihan subjek dan retensi, informasi
yang diperoleh, dan perancu yang tidak dikontrol serta sumber bias lainnya. Ada
banyak sumber individual dari kemungkinan mempunyai kesalahan/error. Adalah
tidak cukup untuk menggambarkan suatu studi memiliki atau tidak beberapa dari
sumber error tersebut, karena hampir setiap studi memiliki setiap tipe error.
Issu nyata adalah untuk mengukur kesalahan/error. Karena tidak ada titik potong
(cutoff) yang tepat sehubungan dengan berapa banyak error yang dapat
ditoleransi sebelum suatu studi harus dikatakan valid, tidak ada alternatif
pada kuantifikasi dari study error untuk memperluas kemungkinan.Meskipun tidak
ada kriteria absolut untuk mengukur kevalidan suatu bukti ilmiah, namun masih
memungkinkan untuk menentukan validitas suatu studi. Apa yang diperlukan adalah
kebanyakan lebih dari aplikasi dari daftar kriteria. Sebagai gantinya,
kita harus menggunakan seluruh kritisi, dengan tujuan mendapatkan
kuantifikasi evaluasi dari keseluruhan error yang yang terjadi dalam penelitian/studi.
Tipe pengukuran ini tidak hanya satu yang dapat digunakan dengan mudah oleh
seseorang yang tidak memiliki keterampilan dan pelatihan dari ilmuwan terkenal
tentang masalah subjek dan metode ilmiah yang digunakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar