Senin, 16 April 2012

TUGAS EPIDEMIOLOGI PERENCANAAN


BAB I
PENDAHULUAN

Latar belakang
Demam Berdarah dengue adalah salah satu bentuk klinis dari penyakit akibat infeksi dengan virus dengue pada manusia sedangkan manifestasi klinis dan infeksi virus dengue dapat berupa demam dengue dan demam berdarah dengue. Dengue adalah penyakit daerah tropis dapat ditularkan oleh nyamuk Aedes Aegypti, nyamuk ini adalah nyamuk rumah yang menggigit pada siang hari. Penyakit demam berdarah dengue merupakan masalah kesehatan di Indonesia hal ini tampak dari kenyataan seluruh wilayah di Indonesia mempunyai resiko untuk terjangkit penyakit demam berdarah dengue. Sebab baik virus penyebab maupun nyamuk penularanya sudah tersebar luas di perumahan-perumahan penduduk. Walaupun angka kesakitan penyakit ini cenderung meningkat dari tahun ke tahun sebaliknya angka kematian cenderung menurun , karena semakin dini penderita mendapat penanganan oleh petugas kesehatan yang ada di daerah – daerah.
Penyakit Demam Berdarah Dengue merupakan salah satu penyakit menular yang berbahaya dapat menimbulkan kematian dalam waktu singkat dan sering menimbulkan wabah. Penyakit ini pertama kali ditemukan di Filipina pada tahun 1953 dan selanjutnya menyebar ke berbagai negara. Di Indonesia penyakit ini pertama kali dilaporkan pada tahun 1968 di Surabaya dengan jumlah penderita 58 orang dengan kematian 24 orang (41,3%). Selanjutnya sejak saat itu penyakit Demam Berdarah Dengue cenderung menyebar ke seluruh tanah air Indonesia dan
mencapai puncaknya pada tahun 1988 dengan insidens rate mencapai 13,45 % per 100.000 penduduk. Keadaan ini erat kaitannya dengan meningkatnya mobilitas penduduk dan sejalan dengan semakin lancarnya hubungan transpotasi.Seluruh wilayah Indonesia mempunyai resiko untuk terjangkit penyakit Demam Berdarah Dengue karena virus penyebab clan nyamuk penularnya tersebar luas baik di rumah maupun tempat- tempat umum, kecuali yang ketinggiannya lebih dari 1000 meter diatas permukaan laut.
Pada saat ini seluruh propinsi di Indonesia sudah terjangkit penyakit ini baik di kota maupun desa terutama yang padat Penduduknya dan arus transportasinya lancar. Menurut laporan Ditjen PPM dan PLP.
Penyakit ini telah tersebar di 27 propinsi di Indonesia. Dari 300 kabupaten di 27 propinsi pada tahun 1989 (awal Pelita V ) tercatat angka kejadian sebesar 6,9 % dan pada akhir Pelita V meningkat menjadi 9,2 %. Pada kurun waktu yang sama angka kematian tercatat sebesar 4,5 %.Sebagaimana diketahui bahwa sampai saat ini obat untuk membasmi virus dan vaksin untuk mencegah penyakit Demam Berdarah Dengue belum tersedia. Cara yang tepat guna untuk menanggulangi penyakit ini secara tuntas adalah memberantas vektor/nyamuk penular. Vektor Demam Berdarah Dengue mempunyai tempat perkembangbiakan yakni di lingkungan tempat tinggal manusia terutama di dalam stan diluar rumah. Nyamuk Aedes aegypti berkembangbiak di tempat penampungan air seperti bak mandi, drum, tempayan dan barang-barang yang memungkinkan air tergenang seperti kaleng bekas, tempurung kelapa , dan lain-lain yang dibuang sembarangan.
Pemberantasan vektor Demam Berdarah Dengue dilaksanakan dengan memberantas sarang nyamuk untuk membasmi jentik nyamuk Aedes aegypti. Mengingat nyamuk Aedes aegypti tersebar luas diseluruh tanah air baik dirumah maupun tempat-tempat umum, maka untuk memberantasnya diperlukan peran serta seluruh masyarakat.

Permasalahan
Pada musim penghujan penyakit DBD ditemukan diseluruh propinsi Indonesia Secara epidemologis, DBD telah menyebar ke seluruh wilayah kabupaten dan kota di Indonesia, jumlah kasus menunjukkan kecenderungan meningkat baik dalam jumlah maupun luas wilayah yang terjangkit dan secara sporadic selalu menjadi KLB setiap tahun. Pada tahun 1999 IR menurun tajam sebesar 10,17%, namun tahun-tahun berikutnya IR cenderung meningkat yaitu 15,99 pada tahun 2000, 21,66 pada tahun 2001, 19,24 pada tahun 2002, 23,87 pada tahun 2003 (Ishak, 2006). Kasus DBD di Indonesia tahun 2007 mencapai 140.000 kasus dan sebanyak 1380 orang yang meninggal, dengan CFR sebesar 0,98% (Anonim, 2007). Di Parepare jumlah penderita DBD yang dirawat di puskesmas perawatan lakessi pada tahun 2006 – 2011 berjumlah sekitar 20 Orang. Satu orang pasien meninggal dunia dengan DBD.

Tujuan
1.      Menurunkan angka kejadian DBD diwilayah kerja Puskesmas Perawatan Lakessi.
2.      Meningkatkan angka kesadaran masyarakat dalam hal pemeliharaan lingkungan.
3.      Peran serta masyarakat dan lintas sektor terkait dapat ditingkatkan secara berkesinambungan melalui penyuluhan dan promosi kesehatan untuk mengendalikan sumber nyamuk melalui 3M plus atau PSN terpadu.
4.      Mata rantai penularan demam berdarah di masyarakat bisa diputuskan dengan pengendalian vektor.


BAB II
TINJAUAN TEORI

DEFINISI
Demam berdarah dengue adalah penyakit yang terdapat pada anak dan dewasa dengan gejala utama demam, nyeri otot dan sendi yang biasanya memburuk setelah dua hari pertama.
Penyakit Demam Berdarah Dengue adalah penyakit infeksi virus akut yang disebabkan oleh virus Dengue dan terutama menyerang anak- anak dengan ciri- ciri demam tinggi mendadak dengan manifestasi perdarahan dan bertendensi menimbulkan shock dan kematian. Penyakit ini ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan mungkin juga Albopictus. Kedua jenis nyamuk ini terdapat hampir di seluruh pelosok Indonesia kecuali ketinggian lebih dari 1000 meter diatas permukaan laut. Masa inkubasi penyakit ini diperkirakan lebih kurang 7 hari.
Penyakit Demam Berdarah Dengue dapat menyerang semua golongan umur. Sampai saat ini penyakit Demam Berdarah Dengue lebih banyak menyerang anak-anak tetapi dalam dekade terakhir ini terlihat adanya kecenderungan kenaikan proporsi penderita Demam Berdarab Dengue pada orang dewasa.
Indonesia termasuk daerah endemik untuk penyakit Demam Berdarah Dengue. Serangan wabah umumnya muncul sekali dalam 4 - 5 tahun. Faktor lingkungan memainkan peranan bagi terjadinya wabah. Lingkungan dimana terdapat banyak air tergenang dan barang-barang yang memungkinkan air tergenang merupakan tempat ideal bagi penyakit tersebut

ETIOLOGI
Virus dengue yang termasuk kelompok B Arthropod Borne Virus (Arbovirus) yang sekarang dikenal sebagai genus flavivirus, familio flavivisidae dan mempunyai 4 jenis serotipe, yaitu : DEN – 1 , DEN – 2 , DEN – 3, DEN – 4.
Di Indonesia pengamatan virus dengue yang dilakukan sejak tahun1975 di beberapa Rumah Sakit menunjukkan keempat serotipe di temukan dan bersirkulasi sepanjang tahun. Serotipe DEN – 3 merupakan serotype yang dominan dan diasumsikan banyak yang menunjukkan manifestasi klinik yang berat.

EPIDEMIOLOGI
Demam berdarah dengue di Indonesia pertama kali dicurigai terjangkit di Surabaya pada tahun 1968, tetapi kepastian virologiknya baru diperoleh pada tahun 1970.
Demam berdarah dengue pada orang dewasa dilaporkan pertama kali oleh Swandana (1970) yang kemudian secara drastis meningkat dan menyebar ke seluruh Dati I di Indonesia.
Faktor yang mempengaruhi peningkatan dan penyebaran kasus Demam Berdarah Dengue sangat kompleks, yaitu (1) Pertumbuhan penduduk yang tinggi (2) Urbanisasi yang tidak terencana dan tidak  terkendali (3) Tidak ada kontrol vektor nyamuk yang efektif di daerah endemis dan (4) Peningkatan sarana transportasi. Di Indonesia, karena suhu udara dan kelembaban tidak sama di setiap
tempat, maka pola terjadinya penyakit agak berbeda untuk setipa tempat. DiJawa pada umumnya infeksi virus dengue terjadi mulai awal Januari, meningkat terus sehingga kasus terbanyak terdapat pada sekitar bulan April – Mei setiap tahun.

CARA PENULARAN
Terdapat tiga faktor yang memegang peranan pada penularan infeksi virus dengue, yaitu mausia, virus dan vektor perantara.
Virus dengue ditularkan kepada manusia melalui nyamuk Aedes Aegypti. Aedes Albopictus, Aedes Polynesiensis dan beberapa spesies yang lain dapat juga menularkan virus ini, namun merupakan vektor yang kurang berperan. Aedes tersebut mengandung virus dengue pada saat menggigit manusia yang sedang mengalami viremia. Kemudian virus yang berada di kelenjar liur berkembang biak dalam waktu 8 – 10 hari (extrinsic incubation period) sebelum dapat di tularkan kembali pada manusia pada saat gigitan berikutnya. Sekali virus dapat masuk dan berkembang biak di dalam tubuh nyamuk tersebut akan dapat menularkan virus selama hidupnya (infektif).
Ditubuh manusia, virus memerlukan waktu masa tunas 4 – 6 hari (intrinsic incubation period) sebelum menimbulkan penyakit. Penularan dari manusia kepada nyamuk dapat terjadi bila nyamuk menggigit manusia yang sedang mengalami viremia, yaitu 2 hari sebelum panas sampai 5 hari setelah demam timbul.

PATOGENESIS
Virus dengue masuk ke dalam tubuh melalui gigitan nyamuk dan infeksi pertama mungkin memberi gejala sebagai demam dengue. Reaksi yang amat berbeda akan tampak bila seseorang mendapat infeksi yang berulang dengan tipe virus dengue yang berlainan. Hipotesis infeksi sekunder (the secondary heterologous infection/ the sequential infection hypothesis) menyatakan bahwa demam berdarah dengue dapat terjadi bila seseorang setelah terinfeksi dengue pertama kali mendapat infeksi berulang dengue lainnya. Re – infeksi ini akan menyebabkan suatu reaksi amnestif antibodi yang akan terjadi dalam beberapa hari mengakibatkan proliferasi dan transformasi limsofit dengan menghasilkan titik tinggi antibodi Ig G antidengue. Disamping itu replikasi virus dengue terjadi juga dalam limsofit yang bertransformasi dengan akibat terdapatnya virus dalam jumlah banyak. Hal ini akan mengakibatkan terbentuknya virus kompleks antigen – antibody (virus antibody complex) yang selanjutnya akan mengakibatkan aktivasi sistem komplemen pelepasan C3a dan C5a akibat aktivasi C3 dan C5 menyebabkan peningkatan permeabilitis dinding pembuluh darah dan merembesnya plasma dari ruang intravascular ke ruang ekstravascular

PATOFISIOLOGI
Fenomena patofisiologi utama yang menentukan berat penyakit dan membedakan demam dengue dengan demam berdarah dengue ialah meningginya permeabilitas dinding kapiler karena pelepasan zat anafilaktoksin, histamin dan serothin sert aktivasi sistim kalikrein yang berakibat ekstravasosi cairan intravascular. Hal ini mengakibatkan berkurangnya volume plasma, terjadinya hipotensi, hemokonsentrasi, hipeproteinemia, efusi dan syok. Plasma merembes selama perjalanan penyakit mulai dari saat permulaan demam dan mencapai puncaknya pada saat syok

GEJALA UTAMA
1.        Demam
Demam tinggi yang mendadak, terus – menerus berlangsung selama 2 – 7 hari, naik turun (demam bifosik). Kadang – kadang suhu tubuh sangat tinggi sampai 400C dan dapat terjadi kejan demam. Akhir fase demam merupakan fase kritis pada demam berdarah dengue. Pada saat fase demam sudah mulai menurun dan pasien seajan sembuh hati – hati karena fase tersebut sebagai awal kejadian syok, biasanya pada hari ketiga dari demam.
2.        Tanda – tanda perdarahan
Penyebab perdarahan pada pasien demam berdarah adalah vaskulopati, trombosipunio gangguan fungsi trombosit serta koasulasi intravasculer yang menyeluruh. Jenis perdarahan terbanyak adalah perdarahan bawah kulit seperti retekia, purpura, ekimosis dan perdarahan conjuctiva. Retekia merupakan tanda perdarahan yang sering ditemukan. Muncul pada hari pertama demam tetepai dapat pula dijumpai pada hari ke 3,4,5 demam. Perdarahan lain yaitu, epitaxis, perdarahan gusi, melena dan hematemesis.
3.        Hepatomegali
Pada umumnya dapat ditemukan pada permulaan penyakit bervariasi dari haya sekedar diraba sampai 2 – 4 cm di bawah arcus costa kanan. Derajat hepatomegali tidak sejajar dengan beratnya penyakit, namun nyeri tekan pada daerah tepi hepar berhubungan dengan adanya perdarahan.
4.        Syok
Pada kasus ringan dan sedang, semua tanda dan gejala klinis menghilang setelah demam turun disertai keluarnya keringat, perubahanpada denyut nadi dan tekanan darah, akral teraba dingin disertai dengan kongesti kulit. Perubahan ini memperlihatkan gejala gangguan sirkulasi, sebagai akibat dari perembasan plasma yang dapat bersifat ringan atau sementara. Pada kasus berat, keadaan umum pasien mendadak menjadi buruk setelah beberapa hari demam pada saat atau beberapa saat setelah suhu turun, antara 3 – 7, terdapat tanda kegagalan sirkulasi, kulit teraba dingin dan lembab terutama pada ujung jari dan kaki, sianosis di sekitar mulut, pasien menjadi gelisah, nadi cepat, lemah kecil sampai tidak teraba. Pada saat akan terjadi syok pasien mengeluh nyeri perut

PEMERIKSAAN LABORATORIUM
1.        Darah
Pada demam berdarah dengue umum dijumpai trobositopenia (<100.000) dan hemokonsentrasi uji tourniquet yang positif merupakanpemeriksaan penting.
Masa pembekuan masih dalam batas normal, tetapi masa perdarahan biasanya memanjang. Pada analisis kuantitatif ditemukan masa perdarahan biasanya memanjang. Pada analisis kuantitatif ditemukan penurunan faktor II, V, VII, IX, dan X. Pada pemeriksaan kimia darah hipoproteinemia, hiponatremia, dan hipokloremia.
2.        Urine
Ditemukan albuminuria ringan
3.        Sumsum Tulang
Gangguan maturasi
4.        Serologi
a.         Uji serologi memakai serum ganda.
Serum yang diambil pada masa akut dan masa konvalegen menaikkan antibodi antidengue sebanyak minimal empat kali termasuk dalam uji ini pengikatan komplemen (PK), uji neutralisasi (NT) dan uji dengue blot.
b.        Uji serologi memakai serum tunggal.
Ada tidaknya atau titer tertentu antibodi antidengue uji dengue yang mengukur antibodi antidengue tanpa memandang kelas antibodinya uji Ig M antidengue yang mengukur hanya antibodi antidengue dari kelas Ig M
DIAGNOSIS
Diagnosis demam berdarah ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis menurut WHO tahun 1997 terdiri dari kriteria klinis dan laboratoris.
1.        Kriteria Klinis
a.       Demam tinggi mendadak, tanpa sebab jelas, berlangsung terus menerus selama 2 – 7 hari.
b.      Terdapat manifestasi perdarahan ditandai dengan :
·         uji tourniquet positif
·         Petekhia, ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi
·         Hematemesis dan atau melena.
c.       Pembesaran hati
d.      Syok, ditandai nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi, hipotensi, kaki dan tangan dingin, kulit lembab dan pasien tampak gelisah.
2.        Kriteria Laboratoris
a.       Trombositopenia (100.000 sel/ mm3 atau kurang)
b.      Hemokonsentrasi peningkatan hematoksit 20% atau lebih Dua kriteria pertama ditambah trombositopemia dan hemokonsentrasi atau peningkatan hematokrit cukup untuk menegakkan diagnosis klinis demam berdarah dengue.

Derajat penyakit (WHO, 1997)
·         Derajat I demam disertai gejala tidak khas atau satu-satunya manifestasi ialah uji tourniquet positif.
·         Derajat II Seperti derajat I, disertai perdarahan spontan di kulit dan atau perdarahan lain.
·         Derajat III Didapatkan kegagalan sirekulasi, yaitu nadi cepat dan lambat, tekanan mulut, kulit dingin atau lembab dan penderita tampak gelisah.
·         Derajat IV Syok berat, nadi tidak teraba dan tekanan darah tidak terukur.


BAB III
URAIAN KEGIATAN

A.      JENIS KEGATAN
Langkah-langkah yang dilakukan dalam pengendalian demam berdarah (DBD) :
1.      Manajemen lingkungan
Manajemen lingkungan adalah upaya pengelolaan lingkungan untuk mengurangi bahkan menghilangkan habitat perkembangbiakan nyamuk vektor sehingga akan mengurangi kepadatan populasi. Manajemen lingkungan hanya akan berhasil dengan baik kalau dilakukan oleh masyarakat, lintas sektor, para pemegang kebijakan dan lembaga swadaya masyarakat melalui program kemitraan.
2.      Pengendalian Biologis.
Pengendalian secara Biologis merupakan upaya pemanfaatan agent biologi untuk pengendalian vektor DBD. Beberapa agen biologis yang sudah digunakan dan terbukti mampu mengendalikan populasi larva vektor DB/DBD adalah dari kelompok bakteri, predator seperti ikan pemakan jentik dan cyclop (Copepoda).
·         Predator
Predator larva di alam cukup banyak, namun yang bisa digunakan untuk pengendalian larva vektor DBD tidak banyak jenisnya, dan yang paling mudah didapat dan dikembangkan masyarakat serta murah adalah ikan pemakan jentik. Di Indonesia ada beberapa ikan yang berkembang biak secara alami dan bisa digunakan adalah ikan kepala timah dan ikan cetul. Namun ikan pemakan jentik yang terbukti efektif dan telah digunakan di kota Palembang untuk pengendalian larva DBD adalah ikan cupang. Meskipun terbukti efektif untuk pengendalian larva Ae.aegypti, namun sampai sekarang belum digunakan oleh masyarakat secara luas dan berkesinambungan. Dari pengamatan penulis, pemanfaatan ikan pemakan jentik harus difasilitasi oleh Pemerintah daerah dan pembinaan dari sektor terkait, karena masyarakat Indonesia belum mampu mandiri sehingga masih harus mendapatkan dukungan penyuluhan agar mampu melindungi dirinya dan keluarga dari penularan DBD. Jenis predator lainnya yang dalam penelitian terbukti mampu mengendalikan larva DBD adalah dari kelompok Copepoda atau cyclops, jenis ini sebenarnya jenis Crustacea dengan ukuran mikro. Namun jenis ini mampu makan larva vektor DBD. Beberapa spesies sudah diuji coba dan efektif, antara lain Mesocyclops aspericornis diuji coba di Vietnam, Tahiti dan juga di Balai BesarPenelitian Vektor dan Reservoir, Salatiga. Peran Copepoda dalam pengendalian larva DD/DBD masih harus diuji coba lebih rinci ditingkat operasionalT TOPIK
·         Bakteri
Agen biologis yang sudah dibuat secara komersial dan digunakan untuk larvasidasi dan efektif untuk pengendalian larva vektor adalah kelompok bakteri. Dua spesies bakteri yang sporanya mengandung endotoksin dan mampu membunuh larva adalah Bacillus thuringiensis serotype H-14 (Bt. H-14) dan B. spaericus (BS). Endotoksin merupakan racun perut bagi larva, sehingga spora harus masuk ke dalam saluran pencernaan larva. Keunggulan agent biologis ini tidak mempunyai pengaruh negatif terhadap lingkungan dan organisme bukan sasaran. Kelemahan cara ini harus dilakukan secara berulang dan sampai sekarang masih harusdisediakan oleh pemerintah melalui sektor kesehatan. Karena endotoksin berada di dalam spora bakteri, bilamana spora telah berkecambah maka agent tersebut tidak efektif lagi.
3.      Pengendalian Kimiawi
Pengendalian secara kimiawi masih paling populer baik bagi program pengendalian DBD dan masyarakat. Penggunaan insektisida dalam pengendalian vektor DBD bagaikan pisau bermata dua, artinya bisa menguntungkan sekaligus merugikan. Insektisida kalau digunakan secara tepat sasaran, tepat dosis, tepat waktu dan cakupan akan mampu mengendalikan vektor dan mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan dan organisme yang bukan sasaran. Penggunaan insektisida dalam jangka tertentu secara akan menimbulkan resistensi vektor. Data penelitian yang dilakukan pada tahun 2006 di Jakarta dan Denpasar pada tahun 2009 yang dilakukan oleh Shinta dkk menunjukkan resistensi vektor terhadap insektisida yang digunakan oleh program. Insektisida untuk pengendalian DD/DBD harus digunakan dengan bijak dan merupakan senjata pamungkas.
4.      Partisipasi Masyarakat
Partisipasi masyarakat merupakan proses panjang dan memerlukan ketekunan, kesabaran dan upaya dalam memberikan pemahaman dan motivasi kepada individu, kelompok, masyarakat, bahkan pejabat secara berkesinambungan. Program yang melibatkan masyarakat adalah mengajak masyarakat mau dan mampu melakukan 3 M plus atau PSN dilingkungan mereka. Istilah tersebut sangat populer dan mungkin sudah menjadi trade mark bagi program pengendalian DBD, namun karena masyarakat kita sangat heterogen dalam tingkat pendidikan, pemahaman dan latar belakangnya sehingga belum mampu mandiri dalam pelaksanaannya. Mengingat kenyataan tersebut, maka penyuluhan tentang vektor dan metode pengendaliannya masih sangat dibutuhkan oleh masyarakat secara berkesinambungan. Karena vektor DBD berbasis lingkungan, maka penggerakan masyarakat tidak mungkin dapat berhasil dengan baik tanpa peran dari Pemerintah daerah dan lintas sektor terkait seperti pendidikan, agama, LSM, dll. Program tersebut akan dapat mempunyai daya ungkit dalam memutus rantai penularan bilamana dilakukan oleh masyarakat dalam program pemberdayaan peran serta masyarakat. Untuk meningkatkan sistem kewaspadaan dini dan pengendalian, maka perlu peningkatan dan pembenahan sistem surveilans penyakit dan vektor dari tingkat Puskesmas, Kabupaten Kota, Provinsi dan pusat. Disamping kerjasama dan kemitraan dengan lintas sektor terkait perlu dicari metode yang mempunyai daya ungkit.tin Jendela Epidemiologi, Volume 2, Agustus 2010 29
5.      Perlindungan Individu
Untuk melindungi pribadi dari risiko penularan virus DBD dapat dilakukan secara individu dengan menggunakan repellent, menggunakan pakaian yang mengurangi gigitan nyamuk. Baju lengan panjang dan celana panjang bisa mengurangi kontak dengan nyamuk meskipun sementara. Untuk mengurangi kontak dengan nyamuk di dalam keluarga bisa memasang kelambu pada waktu tidur dan kasa anti nyamuk. Insektisida rumah tangga seperti semprotan aerosol dan repellent: obat nyamuk bakar, vaporize mats (VP), dan repellent oles anti nyamuk bisa digunakan oleh individu. Pada 10 tahun terakhir dikembangkan kelambu berinsektisida atau dikenal sebagai insecticide treated nets (ITNs) dan tirai berinsektisida yang mampu melindungi gigitan nyamuk.
6.      Peraturan Perundangan
Peraturan perundangan diperlukan untuk memberikan payung hukum dan melindungi masyarakat dari risiko penulan DB/DBD. DBD termasuk salah satu penyakit yang berbasis lingkungan, sehingga pengendaliannya tidak mungkin hanya dilakukan oleh sektor kesehatan. Seluruh negara mempunyai undang-undang tentang pengawasan penyakit yang berpotensi wabah seperti DBD dengan memberikan kewenangan kepada petugas kesehatan untuk mengambil tindakan atau kebijakan untuk mengendalikannya. Dengan adanya peraturan perundangan baik undang-undang, peraturan pemerintah dan peraturan daerah, maka pemerintah, dunia usaha dan masyarakat wajib memelihara dan patuh. Salah satu Negara yang mempunyai undang-undang dan peraturan tentang vektor DBD adalah Singapura, yang mengharuskan masyarakat untuk menjaga lingkungannya untuk bebas dari investasi larva Aedes. Pemerintah DKI sudah mempunyai peraturan serupa, namun penerapannya masi belum dapat dijalankan. Agar DKI dapat terbebas dari risiko penularan DBD, maka perlu dilakukan sosialisasi peraturan daerah dan penyuluhan tentang memelihara lingkungan yang bebas dari larva nyamuk secara bertahap. Hal ini mengingat pembangunan kesehatan merupakan upaya untuk memenuhi salah satu hak dasar rakyat, yaitu hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang bermutu seperti diamanatkan dalam UUD 1945 dan dipertegas di dalam pasal 28 bahwa kesehatan adalah hak asasi manusia dan dinyatakan juga bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.

B.       SASARAN
Warga yang bermukim di wilayah kerja puskesmas perawatan Lakessi Parepare yang terdiri dari 4 Keluhan ( Ujung Baru, Ujung lare, lakessi, kampung Pisang ) 25 RW dengan Jumlah penduduk 15.410 jiwa.

C.      TARGET
Warga yang bermukim di wilayah kerja puskesmas perawatan Lakessi Parepare yang terdiri dari 4 Keluhan ( Ujung Baru, Ujung lare, lakessi, kampung Pisang ) 25 RW dengan Jumlah penduduk 15.410 jiwa. Yang termasuk resiko tinggi terjangkit penyakit demam berdarah ( Anak sekolah, Penduduk yang bermukim diwilayah kumuh )

D.      HASIL / OUT PUT
Diharapkan setelah dilakukan serangkaian kegiatan penanggulangan penyakit demam berdarah angka kejadian demam berdarah diwilayah kerja puskesmas lakessi Parepare bisa berkurang.
 

BAB IV
KESIMPULAN  DAN SARAN

A.    Kesimpulan
1.         Demam berdarah dengue (DBD) ialah penyakit yang terdapat pada anak dan dewasa dengan gejala utama demam, nyeri otot dan sendi, yang biasanya memburuk pada hari kedua.
2.         Virus dengue tergolong dalam grup Flaviviridae dengan 4 serotipe, DEN – 3, merupakan serotie yang paling banyak.
3.         Vektor utama dengue di Indonesia adalah Aedes Aegypti.
4.         Gejala utama demam berdarah dengue (DBD) adalah demam, pendarahan,hepatomegali dan syok.
5.         Kriteria diagnosis terdiri dari kriteria klinis dan kriteria laboratoris. Dua kriteria klinis ditambah trombosipenia dan peningkatan hmatokrit cukup untukmenegakkan diagnosis demam berdarah dengue.
6.         Peran serta masyarakat dan lintas sektor terkait harus ditingkatkan secara berkesinambungan melalui penyuluhan dan promosi kesehatan untuk mengendalikan sumber nyamuk melalui 3M plus atau PSN terpadu

B.     SARAN
1.      Sistem pelaporan kasus DBD perlu diperkuat agar bisa mendapatkan data yang valid, dengan membangun sistem tukarmenukar data antara data Puskesmas dan data RS.
2.      Melakukan validasi data di semua level terutama pada daerah yang sudah tidak melaporkan lagi kasus DBD untuk mengetahui apakah memang benar sudah tidak ada kasus atau memang tidak melaporkan (sistem pencatatan dan pelaporan tidak berjalan).
3.      Perlu dilakukan kajian lebih lanjut untuk mengetahui faktor risiko suatu daerah mempunyai kasus DBD yang tinggi sehingga dapat dilakukan pencegahan dan pengendalian penyakit.
4.      Mengaktifkan kegiatan Pemantauan Jentik Berkala (PJB) oleh Puskesmas, bekerja sama dengan masyarakat dengan mengaktifkan Juru Pemantau Jentik (Jumantik) terutama untuk daerah dengan endemis tinggi sepanjang tahun.
5.      Perlu ditingkatkan upaya penyuluhan dan pendidikan terhadap masyarakat agar selalu waspada terhadap DBD dan aktif melakukan PSN.
6.      Perlu dilakukan surveilans kasus dan surveilans vektor yang intensif terutama pada tingkat masyarakat dan Puskesmas dengan bimbingan Dinas Kesehatan Kab/kota.
7.      Pada saat dideteksi jumlah kasus DBD terendah perlu dilakukan Bulan Bakti Gerakan 3M secara serentak selama satu bulan, sehingga rantai penularan virus dengue dari nyamuk-manusia-nyamuk dapat terputus.


 Daftar pustaka

1.      Hadinegoro, Sri Rezeki H. Soegianto, Soegeng. Suroso, Thomas. Waryadi suharyono. TATA LAKSANA DEMAM BERDARAH DENGUE DI INDONESIA. Depkes & kesejahtraan sosial dirjen pemberantasan penyakit menulat dan penyehatan lingkungan hidup 2001.
2.      Hendrawanto. Buku Ajar ILMU PENYAKIT DALAM Jilid I Edisi Ketiga PERSATUAN AHLI PENYAKIT DALAM INDONESIA.1996 Hal 417 – 426.
3.      Janus, Centrin net.id/ binprog.www.plasa.com.2003.
4.      Mansjoer, Arif. Triyanti, Kuspuji. Savitri, Rakhmi. Wardani, Wahyu Ika. Setiowulan, Wiwiek. KAPITA SELEKTA KEDOKTERAN. Media Aesculapius FK – UI Edisi ketiga Jilid I. 1999. Hal 428 – 433.
5.      Widodo, dr.SPA (K).www. Penyakit Menular info. DEPKES. 4 Januari 2002.
6.      Buletin Jendela Epidemiologi, Topik Utam Demam Berdarah

 
LAMPIRAN
MATRIKS PERENCANAAN



JAN
FEB
MARET
APRIL
MEI
JUNI
JULI
AGS
SEP
OKT
NOV
DES
NO
 JENIS KEGIATAN
MINGGU


1
2
3
4
1
2
3
4
1
2
3
4
1
2
3
4
1
2
3
4
1
2
3
4
1
2
3
4
1
2
3
4
1
2
3
4
1
2
3
4
1
2
3
4
1
2
3
4
1
ABATESASI
















































2
PEMBERANTASAN SARANG NYAMUK (PSN) / GERAKAN LINGKUNGAN BERSIH
















































3
FOGGING FOKUS
KALAU ADA PENEMUAN KASUS DI MASYARAKAT
4
PEMBENTUKAN DAN MENGAKTIFKAN JURU PAMANTAU JENTIK
















































5
PERTEMUAN LINTAS SEKTORAL
















































6
PENCARIAN DAN PENGOBATAN KASUS SECARA PRO AKTIF














KALAU ADA KASUS

7
IDENTIFIKISASI WILAYAH YANG BERISIKO
















































8
PENYULUHAN ( MENCEGAH DBD)
















































9
VALIDASI DATA
















































10
SURVEILANS KASUS DAN VEKTOR

















































Tidak ada komentar:

Posting Komentar